Menurut Prof. Dr. Komarudin Hidayat, secara psikologisnya, surga yang digambarkan di dalam kitab suci itu sangat mirip seperti suasana janin ketika berada di dalam kandungan, di rahim ibunya.
Dari nama tempatnya saja, kenapa disebut “rahim”? Karena janin tidak mengenal apapun kecuali suasana kasih dan sayang dari ibu. Sama seperti pengetahuan kita tentang keadaan di surga. Makanan sudah tersedia selalu dan janin hidup dalam kenyamanan tanpa kerisauan.
Janin tidak memiliki kekhawatiran, tidak ada iri dengki, tidak ada komparasi kaya-miskin. Namun, begitu lahir ke dunia, janin menjadi bayi dan mulai bertemu serta mengalami berbagai penderitaan dan ujian hidup.
Al-Qur’an pun juga mengisahkan, tentang bagaimana kesulitan yang dialami Adam ketika terusir dari surga. Ketika bayi semakin tumbuh dan berkembang, pengetahuannya bertambah maka penderitaan juga akan bertambah. Pengetahuan adalah simbol dunia, dan dunia adalah arena ujian.
Namun, jika hati, pikiran, dan tindakan manusia selalu berpedoman kepada petunjuk Ilahi, maka kehidupan di dunia ini akan menjadi anugerah yang asyik dan menyenangkan. Bahkan hingga kita terlena oleh kenikmatan dunia dan menjadi cinta kepada dunia lalu kemudian takut kalau meninggalkan dunia.
Orang yang takut atau khawatir mati, belum tentu karena takut neraka, bisa jadi karena enggan berpisah dengan dunia. Seperti kita menangis ketika lahir ke dunia yang penuh penderitaan karena enggan berpisah dengan surga rahim ibu yang penuh kasih sayang.
Maka, bisa jadi mindset kita tentang kematian dan kehidupan setelahnya yang menakutkan merupakan persepsi yang salah. Bisa jadi, setelah mati kita kemudian malah begitu menikmati kehidupan akhirat yang penuh surgawi dan menjadi enggan berpisah dengan akhirat.
Siapa yang tau, dengan Maha kasih dan sayangnya Tuhan yang lebih dikedepankan, ternyata di balik kematian ada kehidupan yang jauh lebih asyik dan menyenangkan. Lantas, kenapa kita masih takut mati?
Ketika Rumi sakit, teman-temannya menangis sedih. Lalu, Rumi berkata, “Hai kawan, tinggal sejenak langkahku untuk memasuki kehidupan yang jauh lebih indah dari dunia ini, tetapi mengapa engkau menangis sedih dan menahan-nahan diriku untuk menunda babak kehidupan baru yang sudah aku tunggu-tunggu?”.