Dakwah adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan kebenaran, sesuai ajaran Islam. Proses ini harus dilaksanakan dengan penuh hikmah, pengertian, dan kesabaran. Namun, di tengah beragam metode dakwah, muncul pertanyaan penting: Apakah berdakwah dengan guyonan kasar atau kata-kata yang menyakiti hati dapat dibenarkan dalam Islam?
Sebagai seorang santri Pesmadai, saya teringat betapa Islam selalu mengutamakan akhlak dalam berdakwah. Rasulullah SAW adalah contoh sempurna bagaimana menyampaikan pesan Islam dengan hati-hati, santun, namun tetap tegas. Kisah-kisah dari zaman Rasulullah SAW kerap menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin menapaki jalan dakwah.
Salah satu kisah yang paling menginspirasi adalah kejadian ketika seorang Badui kencing di sudut Masjid Nabawi. Saat itu, para sahabat ingin menegur pria tersebut dengan keras, tetapi Rasulullah SAW menahan mereka. Dengan penuh kesabaran, beliau meminta sahabat membersihkan kencing tersebut dan menjelaskan kepada pria itu bahwa masjid adalah tempat yang harus dijaga kesuciannya. Reaksi lembut ini membuat pria Badui itu tersentuh, dan ia akhirnya menerima Islam.
Kisah lain adalah tentang seorang tetangga Yahudi yang sering kali meletakkan kotoran di depan rumah Rasulullah SAW. Suatu hari, Rasulullah menyadari bahwa kebiasaan tersebut berhenti. Alih-alih merasa lega, beliau malah mencari tahu apa yang terjadi dan mengetahui bahwa tetangganya sedang sakit. Rasulullah menjenguk tetangga itu, yang akhirnya terharu dan mengakui kebesaran Islam.
Dari kedua kisah ini, dapat dilihat bahwa kelembutan Rasulullah dalam berdakwah mampu mengubah hati yang paling keras sekalipun. Beliau tidak hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga mempraktikkan kasih sayang yang menjadi inti ajaran Islam.
Dakwah dan konteks Sosial
Dakwah tidak hanya soal menyampaikan isi, tetapi juga memahami siapa yang didakwahi. Dalam QS. An-Nahl: 125, Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini mengajarkan bahwa metode dakwah harus penuh hikmah dan disesuaikan dengan kondisi audiens. Misalnya, jika seorang dai berdakwah di desa yang penduduknya sederhana, gaya komunikasi dan penampilannya sebaiknya tidak menunjukkan kesan berlebihan. Hal ini bukan berarti seorang dai harus hidup sederhana sepanjang waktu, tetapi ia perlu memiliki kepekaan terhadap situasi sosial.
Sayangnya, dalam era modern ini, kita sering melihat gaya dakwah yang kasar, bahkan terkesan merendahkan orang lain. Beberapa pendakwah mungkin berpikir bahwa gaya seperti itu efektif untuk menarik perhatian, terutama di platform media sosial. Namun, apakah cara tersebut benar-benar sejalan dengan nilai-nilai Islam?
Menolak Keburukan dengan Kebaikan
Allah SWT berfirman dalam QS. Fussilat: 34:
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
Ayat ini mengajarkan bahwa respon yang baik dapat meluluhkan hati seseorang, bahkan musuh sekalipun. Ibnu Abbas tentang ayat ini mengatakan bahwa jika seseorang mencaci kita, kita seharusnya mendoakan agar Allah mengampuni kesalahan kita jika caciannya benar, dan mengampuni dia jika caciannya salah.
Bayangkan jika prinsip ini diterapkan dalam dakwah. Bukannya menggunakan kata-kata kasar, seorang dai justru membalas dengan kelembutan yang tulus. Respon seperti itu tidak hanya menjaga akhlak, tetapi juga menciptakan suasana yang kondusif untuk menerima pesan dakwah.
Di zaman Nabi Muhammad SAW, kita mengenal banyak kisah yang menunjukkan betapa pentingnya kelembutan dalam dakwah. Sayangnya, hal ini terkadang dilupakan dalam dunia modern, di mana perhatian publik menjadi prioritas utama. Beberapa pendakwah mengadopsi gaya bicara yang keras atau menggunakan humor yang merendahkan, dengan harapan menarik perhatian audiens.
Namun, Islam mengajarkan bahwa akhlak adalah inti dari segala hal, termasuk dakwah. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)
Akhlak mulia adalah cara terbaik untuk menyampaikan pesan agama. Guyonan atau kata-kata kasar mungkin menghasilkan tawa, tetapi apakah hati yang mendengar akan tersentuh?
Sebagai santri, saya percaya bahwa dakwah bukan hanya soal mengajak orang kepada kebaikan, tetapi juga mencerminkan keindahan Islam itu sendiri. Semoga para dai di Indonesia selalu mengedepankan kelembutan, hikmah, dan kebijaksanaan dalam berdakwah. Dengan begitu, cita-cita kita untuk menjadikan Indonesia sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dapat terwujud.
Mari kita jadikan dakwah sebagai sarana untuk menyebarkan kedamaian, kasih sayang, dan kebahagiaan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.