Q.S Al-Hujurat Sebagai Metode Dakwah yang Santun

Date

Q.S Al-Hujurat Sebagai Metode Dakwah yang Santun

Salah satu sumber utama dalam dakwah Islam, yaitu Al-Qur’an. Al-Quran telah memberikan arahan mengenai cara berinteraksi dan membangun relasi sosial dalam masyarakat yang majemuk. Al-Qur’an juga telah mengatur tentang akhlak kita kepada Allah, kemudian akhlak kepada sesama manusia, juga kepada makhluk ciptaan Allah lainnya. Kondisi tantangan dakwah yang telah disebutkan, Allah Ta’ala telah memberikan rambu-rambu untuk tidak melakukan keburukan kepada Allah dan sesama manusia.[1]

Surat Al-Hujurat adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang sangat relevan untuk dijadikan landasan dalam metode dakwah. Surat Al-Hujurat juga mengandung petunjuk tentang pentingnya komunikasi yang baik, saling menghormati, menghindari prasangka negatif, serta menjaga kehormatan dan privasi orang lain. Prinsip-prinsip ini tidak hanya bersifat universal. Tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan dalam masyarakat multikultural, seperti konflik identitas, stereotip, dan prasangka. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk mengeksplorasi metode dakwah yang bersumber dari Surat Al-Hujurat dan bagaimana metode ini dapat diterapkan secara efektif dalam masyarakat yang beragam hingga tujuan dalam menciptkan perdamaian di dunia tercapai.

Metode Dakwah Q.S Al – Hujurat

Pemaparan mengenai strategi dakwah adalah bagian dari upaya implementasi konsep metode dakwah (at-thoriqoh ad-da’wah) untuk menyampaikan pesan dakwah kepada mad’u. Tujuan penerapan metode dakwah adalah untuk memberikan kemudahan dan keselarasan, baik bagi pelaku dakwah (da’i) maupun bagi penerima dakwah. Metode dakwah terus berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi objektif masyarakat.[2]

Metode dakwah banyak ragamnya, ulama juga sudah banyak menyampaikan akan hal ini dengan landasan atau sumber dari Qur’an dan Hadits. Ada satu metode dakwah yang sangat ampuh untuk diterapkan hingga para mad’u bisa mudah melihat dan meniru hingga sukses dakwah yang diterapkan yaitu Da’wah bil haal.

Da’wah bil haal merupakan metode dakwah yang model penyampaiannya melalui perilaku yang dilakukan oleh para ulama atau pendakwah. Akan tetapi disisi lain, bisa juga dengan menyampaikan perihal adab, etika, sopan santun atau penerapan ilmu agama seperti fiqih dan lain-lain dengan tujuan agar masyarakat bisa lebih faham karena sejatinya da’wah bi al-haal ini pelengkap dari metode dakwah lainnya seperti da’wah bi lisan. Maka kemudia para pendakwah akan benar-benar menjadi panutan bagi masyarakat sebagaimana Rasulullah sebagai Uswaatun hasanah bagi seluruh ummat Islam.[3]

Metode dakwah yang menjunjung tinggi adab atau etika dalam Islam, bisa dengan bi al haal maupun bil lisan. Materi pada metode ini dapat diilhami dari ayat-ayat dalam Surat Al-Hujurat dan menjelaskan bagaimana metode tersebut dapat diterapkan dalam konteks masyarakat multikultural. Berikut ini beberapa poin utama dalam pembahasan :

1. Etika Berkomunikasi dalam Dakwah Multikultural

Surat Al-Hujurat menekankan pentingnya berkomunikasi dengan cara yang santun dan tidak meninggikan suara, sebagaimana diatur dalam ayat 2-3.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَه بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ (2)

اِنَّ الَّذِيْنَ يَغُضُّوْنَ اَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ امْتَحَنَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَّقْوٰىۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ عَظِيْمٌ (3)

(2) Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) segala amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya.

(3) Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

Imam Ibnu Katsir mengatakan tentang ayat ini : “Ini adalah adab kedua yang diajarkan oleh Allah kepada orang-orang beriman, yaitu agar mereka tidak meninggikan (melebihi) suara mereka di hadapan Nabi ”.[4]

Secara logika, meninggikan suara kepada Rasulullah saja tidak boleh apalagi kepada masyarakat multikultural. Sesungguhnya etika komunikasi dengan tidak suka meninggikan suara ini sangatlah diterima oleh semua orang dari berbagai suku atau etnis, karena ini fitrah seluruh manusia di belahan dunia. Perkataan yang lemah lembut dan penuh sopan santun merupakan metode dakwah yang dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat multikultural hingga terhindar dari konflik seperti kesalah pahaman dan ketegangan antar kelompok.

 

2. Memahamkan Masyarakat dalam Menerima dan Mencari Ilmu Agama serta Informasi

Seorang pendakwah harus berkreasi dan berinovasi dalam mengelola masyarakat multikural agar tidak bermudah-mudahan dalam menerima ilmu agama dan informasi lainnya, karena dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi pemikiran dan akhlak masyarakat. Pada ayat ke 6, Allah Ta’ala sudah memberikan rambu-rambu kepada seluruh masyarakat agar cerdas dalam ber-Tabayyun yakni mencari tau kebenaran akan ilmu atau informasi yang didapat, Allah Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy mengatakan tentang ayat ini : “”Jika seorang fasik (orang yang tidak dapat dipercaya) memberitakan suatu berita, maka hendaklah mereka memastikan kebenarannya dan tidak mengambilnya begitu saja. Karena hal tersebut mengandung bahaya besar dan dapat menjebak mereka dalam dosa. Karena jika berita tersebut dianggap setara dengan berita orang yang jujur dan adil, maka keputusan yang diambil berdasarkan berita tersebut akan mengikuti konsekuensinya.”.[5]

Metode dakwah melalui pendekatan dalam pemberian pemahaman ini, bisa diimplementasikan dalam bentuk seminar atau pelatihan dalam menggunakan internet atau sosial media, karena ilmu dan informasi sangat cepat beredar dan diakses oleh masyarakat lewat keduanya. Kegiatan tersebut bisa melibatkan para pakar baik mendatangkan dari luar ataupun masyarakat setempat yang mumpuni dibidang filterisasi informasi digital. Dampak baiknya adalah dapat menstabilkan perdamaian dan ketenangan masyarakat setempat dan sekitarnya.

 

3. Kepedulian terhadap Keadilan, Persatuan dan Kesejahteraan Sosial

Ayat-ayat dalam Surat Al-Hujurat seperti ayat 9 dan 10 menekankan pentingnya menjaga keadilan dan memperhatikan kesejahteraan sosial. Dalam masyarakat multikultural, dakwah dapat diarahkan pada upaya bersama untuk mencapai keadilan sosial jika terdapat konlik di semua perkara dengan tanpa memandang latar belakang etnis, agama, atau status sosial. Allah Ta’ala berfirman :

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ  (9) اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (10)

“(9) Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil. (10) Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”

Imam Ath Thobari mengatakan tentang ayat ini : “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad dan orang-orang beriman, jika dua kelompok dari orang-orang beriman saling bertikai, maka perbaikilah hubungan antara keduanya dan dengan kelompok lainnya yang bertikai dengan adil; yaitu dengan memberikan keadilan di antara mereka. Itulah hukum Allah dalam kitab-Nya yang menjadikan keadilan di antara makhluk-Nya”.[6]

Dalam konteks ini, dakwah bisa diwujudkan dalam bentuk program sosial yang melibatkan berbagai kelompok dalam masyarakat, seperti bakti sosial dan aksi solidaritas. Hal ini dapat memperkuat kohesi sosial dan mengurangi potensi konflik di antara kelompok yang berbeda.

 

4. Larangan Prasangka, Gosip, dan Pencemaran Nama Baik

Ayat 12 dalam Surat Al-Hujurat memberikan larangan tegas terhadap prasangka buruk, gosip, dan pencemaran nama baik. Dalam konteks masyarakat multikultural, larangan ini sangat relevan karena prasangka dan stereotip dapat merusak hubungan antar kelompok. Allah Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy mengatakan tentang ayat ini : “Allah Ta’ala melarang banyak prasangka buruk terhadap orang-orang beriman, prasangka tersebut seperti prasangka yang tidak berdasarkan fakta atau bukti, serta prasangka buruk yang sering disertai dengan berbagai ucapan dan tindakan yang terlarang”.[7]

Dakwah kepada masyarakat multikultural dapat menggunakan pendekatan ini dengan memberikan pemahaman bahwa Islam melarang segala bentuk tindakan yang merugikan reputasi orang lain, baik di depan umum maupun di belakang. Meskipun kenyataannya di masyarakat multikultural banyak karakter yang berbeda maka bukan berarti itu menjadi bahan gosip atau obrolan yang akan merusak nama baik seseorang. Seluruh masyarakat diharapkan memiliki sikap toleransi karena ini telah menjadi landasan bagi masyarakat yang damai dan beradab terutama dalam masyarakat yang majemuk.[8]

 

5. Pentingnya Menghormati Identitas Kelompok Lain

Ayat 13 Surat Al-Hujurat menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari berbagai suku dan bangsa agar mereka dapat saling mengenal dan belajar satu sama lain. Prinsip ini sangat penting dalam dakwah di masyarakat multikultural, karena menghargai keberagaman menjadi dasar untuk menciptakan keharmonisan sosial. Allah Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”

Imam Al Baghowi mengatakan tentang ayat ini : “(Tujuan diciptakannya manusia dalam bentuk dan kondisi yang berbeda) Supaya kamu saling mengenal satu sama lain, baik yang dekat maupun yang jauh dalam hubungan nasab, bukan untuk saling membanggakan diri. Dan yang paling tinggi derajatnya di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa di antara kalian”.[9]

Pada konteks ayat 13, ada beberapa sikap yang perlu diterapkan oleh seluruh masyarakat multikultural agar dakwah dapat berhasil, yaitu sikap keterbukaan dan menerima semua golongan manusia meskipun keadaannya mungkin tidak sejalan dengan idealisme kita. Penting disadari bahwa manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda karena perbedaan dalam kemampuan, bakat, dan kondisi sosial di sisi lain.[10]

Metode dakwah yang berbasis ayat ini dapat diterapkan dengan cara mengajarkan umat untuk saling menghormati perbedaan budaya dan keyakinan orang lain. Dakwah tidak hanya tentang mengajak, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai Islam yang mengutamakan penghargaan terhadap keberagaman.

 

Hikmah dan Pesan Komunikasi Dakwah

Metode dakwah yang diambil dari prinsip-prinsip dalam Surat Al-Hujurat menawarkan metode yang sangat relevan dan aplikatif bagi masyarakat multikultural. Surat ini memberikan panduan untuk menjaga keharmonisan melalui komunikasi yang santun, larangan prasangka dan gosip. Selain itu penting juga menghormati identitas dan keberagaman orang lain. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai ini, dakwah dapat menjadi sarana untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang toleran, inklusif, dan damai.

Surat ini menekankan pentingnya adab dalam berkomunikasi termasuk cara berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Selain itu, penting juga toleransi untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama, dan mencegah fitnah dan konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman. Ini sangat relevan dalam masyarakat yang memiliki beragam pandangan dan keyakinan. Dalam dakwah juga penting untuk menyampaikan pesan dengan cara yang tidak menghakimi. Karena harus mengedepankan dialog dan saling memahami.[]

*) Ustadz Apdil Apdillah, S.Sos.I, penulis adalah Kepala Pendidikan di Pesmadai, Pengasuh TPQ Ar-Raudhoh Pesmadai dan juga Majelis Ta’lim Ibu-Ibu Wali Santri TPQ Ar-Raudhoh.

 

Referensi:

[1] Meika Asri Mandiri, “ANJURAN BERPIKIR POSITIF KEPADA SESAMA MANUSIA  DALAM KAJIAN SURAT AL-HUJURAT AYAT 12 TAFSIR  AL-MISHBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB,” Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2022, 1–14.

[2] Rosidi, Metode Dakwah Masyarakat Multikultur, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Selat Media Patners, 2023).

[3] Rosidi.

[4] Abu Al-Fida Isma’il bin ’Umar Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Azim, Cetakan Kedua (Dar Taybah lil-Nashr wa Al-Tawzi’ah, 1999), Jilid 7 hal 365.

[5] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taysiir Al-Kariim Ar-Rahmaan fii tafsiir kalaam Al-Manaaan, 1 ed. (Arab Saudi: Muassasah Ar-Risaalah, 2000). Hal 799.

[6] Muhammad bin Jarir Al-Tabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (Mekkah Al Mukarramah: Dar Al-Tarbiyah wa Al-Turath, t.t.). Jilid 22 hal 348

[7] As-Sa’di, Taysiir Al-Kariim Ar-Rahmaan fii tafsiir kalaam Al-Manaaan. Hal 801

[8] Anatansyah Ayomi Anandari dan Dwi Afriyanto, “Konsep Persaudaraan Dan Toleransi Dalam Membangun Moderasi Beragama Pada Masyarakat Multikultural Di Indonesia Perspektif Kh. Hasyim Asy’Ari,” Jurnal Religi: Jurnal Studi Agama-Agama 18, no. 02 (2022): 123, https://doi.org/https://doi.org/10.14421/rejusta.2022.1802-05.

[9] Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’alim Al-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an, Cetakan Keempat (Dar Taybah lil-Nashr wa Al-Tawzi’ah, 1997). Jilid 7 hal 348

[10] Rafdeadi Rafdeadi, “Keteladanan Dakwah Di Tengah Masyarakat Multikultural,” Jurnal Dakwah Risalah 23, no. 1 (2013): 1–11.s

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More
articles

Scroll to Top