Buku dengan judul “Kesaksian seorang Dokter- Mensucikan Hati melalui Kisah-kisah Nyata” yang dikarang oleh dr. Khalid bin Abdul Azis Al-Jubair, SpJP seorang Dokter spesialis bedah dan jantung sangat menarik untuk dibaca dan diambil hikmahnya.
Buku ini merupakan kumpulan kisah nyata sang Dokter dari pengalaman pribadinya selama bertugas, ada kutipan cerita yang sangat menarik mengenai sebuah kisah singkat sakaratul mautnya seorang pasien, kira-kira begini kutipan kisahnya: “Saat itu saya berada di sisi seseorang yang sedang berjuang menghadapi sakaratul maut. Anaknya berusaha sebisa mungkin untuk mentalqininya dengan dua kalimat syahadat, akan tetapi setelah berusaha dengan susah payah, jawaban ayahnya sungguh sangat mencengangkan, “wahai anakku ! aku mengerti apa yang engkau katakana, akan tetapi lidahku tidak bisa mengucapkannya, aku telah berusaha wahai anakku, aku telah berusaha akan tetapi aku tidak bisa.” Sahabat sekalian, membaca kisah orang yang telah menemui sakaratul maut atau bisa dibahasakan dengan batas waktu individu-nya, membuat diri kita seolah langsung mendapatkan pantulan lalu memikirkan bagaimana diri kita kelak. Kita tidak tau kapan dan dimana batas waktu individu itu datang, hati yang memiliki submission kepada Tuhan pun tidak akan bertanya kenapa dan bagaimana batas waktu individu itu nanti. Kita hanya mengharapkan ketika batas waktu itu datang, kita sudah siap menyambutnya dan pergi dengan ketenangan total kepada Tuhan. Karena logic-nya, Tuhan pasti tidak ingin kita kembali kepada-Nya dalam keadaan tidak siap. Tapi apakah Tuhan menunggu kita siap baru Dia memanggil kita? Tidak. Tuhan memberikan kita batas waktu untuk mempersiapkan diri. Tidak ada yang tau bagaimana keadaan dirinya ketika berada di akhir batas waktu individu, tapi titik yang menjadi batas waktu individu antara meninggalkan alam nyata menuju alam ghaib merupakan cerminan bagaimana ia sebelumnya di masa lalu (dunia) dan bagaimana ia di masa depan (akhirat). Merasakan ketenangan di titik batas waktu adalah dambaan orang-orang yang beriman. Bisa tenang meninggalkan dunia dengan segala tipu dayanya dan tenang menyambut alam baru adalah asa jiwa-jiwa yang total submission kepada Tuhan. Anak muda terlalu kepedean ketika selalu mengidentikkan titik batas waktu itu dengan kaum tua, bagai menganggap hoax berbagai berita kematian di social media yang dialami oleh anak-anak muda. Sombong sekali jika harus menunggu berkepala empat baru mempersiapkan untuk menghadapi titik batas itu. Meletakkan pembahasan kematian hanya kepada kaum tua adalah kekeliruan. Memposisikan tema-tema semangat, perjuangan dan cinta kepada kaum muda tidaklah salah, dengan tema-tema seperti itu maka kaum muda butuh sesuatu yang bisa menjadi penyeimbang spiritual agar tidak nelangsa berada di lingkaran harapan dengan tema-tema tadi ketika mereka tidak mampu mencapainya. Tidak mudah setiap anak muda bisa sukses dalam semua tema tadi, semangat, perjuangan dan cinta. Memang tidak mengasyikkan ketika membicarakan kematian di tengah-tengah anak muda, tetapi yang diinginkan itu adalah adanya reminder secara individu di dalam diri setiap manusia tanpa membedakan usia. Membicarakan anak muda dengan kematian kadang menuai protes, karena dianggap pesimistis, dan melemahkan perjuangan. Padahal kematian bisa menjadi reminder bahwa kita memiliki batas dan memang terbatas. Di saat optimisme jiwa muda, di tengah semaraknya perjuangan, dengan mengingat adanya titik batas justru bisa menghasilkan energi yang lebih besar. Silahkan logikakan dengan istilah the power of kepepet. |